Berita tersebut diungkap dengan sederhana. Tidak adanya upacara penutupan. Tak ada pesta perpisahan yang mempesona. Hanya terdapat pengumuman ringkas pada laman website saja, seperti mengindikasikan bahwa nyala api yang sudah berlangsungan selama tiga dekade itu kini akhirnya meredup.
GT-R R35,
supercar
Nissan yang menjadi unggulan ini akan segera dihentikan produksinya setelah perusahaan asal Jepang itu menyatakan tak lagi menerima pesanan.
Pasarnya dalam negeri telah menjadikan Nissan GT-R R35 sebagai tempat berteduh terakhir. Tahun lalu, tepatnya pada 2024, pasar AS secara resmi mengakhiri penjualannya. Di sisi lain, mulai tahun 2022, mobil ini juga tidak lagi dipasarkan di Eropa.
Sekarang, raja Godzilla — julukan untuk GT-R R35 — harus pensiun selamanya. Dengan mesin V6 twin-turbo kuatnya, sistem penggerak roda semua yang canggih, serta kecepatan melaju hingga 100 km/jam hanya dalam tiga detik saja, fiturn-fitur ini seakan tak memiliki ruang di era baru yang telah berganti.
Top Gear
Melaporkan berita tersebut dengan nada suram, seolah-olah memberitakan kepergian terakhir seekor burung dodo di langit. Mereka tak bermegah-megahan; memanglah ini suatu berita yang menduka.
Kendati
supercar
Jepang bukanlah yang terpopuler; masih ada kelompok lainnya yang berkembang pesat memuja dan bermimpi mengendalikannya di jalanan. Meskipun mereka tak menetes air mata, pasti ada bagian dari dirinya yang hancur lebur.
Impian dari Timur
Sejak akhir tahun 1960 sampai awal tahun 2010, Jepang menjadi pusat dari revolusi tersebut.
supercar
.
Toyota 2000GT
, yang diluncurkan pada tahun 1967, umumnya diasumsikan sebagai
supercar
Pertama ada Jepang. Mobil ini merupakan hasil kerjasama antara Toyota dengan Yamaha, membawa tampilan yang stylish serta kinerja yang memukau. Mesinnya, dikembangkan berdasarkan unit milik mobil Toyota Crown versi modifikasi oleh Yamaha, sanggup memberikan tenaga sebesar 150 dk dan dapat melaju hingga kecepatan maksimal 136 mph atau setara dengan kurang lebih 219 km/jam.
Pada tahun 1990, Jepun mengejutkan lagi struktur industri automotif global. Honda merilis secara resmi Honda NSX. Mobil ini tidak hanya terlihat atraktif dan memiliki bobot yang ringan, tetapi juga dibuat berdasarkan ambisi untuk mencapai keunggulan sempurna. Pembalap mobil ternama Ayrton Senna da Silva, yang sedang berada di puncak karirnya saat itu, turut serta dalam proses pengembangan kendaraan tersebut.
Senna juga mencoba kecepatan Honda NSX di sirkuit Suzuka.
rekaman lama
Yang kerap kita temukan dalam putaran ulangan di YouTube ini, kita dapat menyaksikan semuanya: Senna, dengan balutan jaket serta kacamata gelap, menaklukkan rintangan ganas tersebut pada sirkuit yang berkelok-kelok. Suara mesinnya yang menusuk telinga seolah membentuk sebuah harmoni indah layaknya simfoni.
Sebanyak dua puluh tahun kemudian, Lexus memperkenalkan model LFA. Mesin V10 yang dimilikinya tak cuma powerful namun juga memesona. Kecantikan suara mesin saat mencapai putaran tinggi sering dibicarakan oleh banyak orang.
suara kendaraan terpilih sebagai yang paling menawan di alam semesta
. Dibuat hanya 500 unit, LFA bukan mobil untuk pasar. Ia tak ubahnya seperti surat yang menebar pesan ke seluruh dunia, bahwa Jepang bisa membuat mahakarya, jika mereka mau.
Tentu saja GT-R R35 tidak bisa dilewatkan dalam perbincangan. Kendaraan ini merupakan simbol budaya pop serta seni rekayasa otomotif. Harganya lebih terjangkau daripada Ferrari namun performa yang ditunjukkan jauh lebih ganas di trek balap.
Dalam banyak hal, sang Godzilla adalah simbol demokratisasi supercar. Ia membawa performa supercar ke tangan orang biasa yang cuma bisa bermimpi mendapatkan Ferrari, McLaren, atau Koenigsegg, Mobil ini menjadi inspirasi komunitas
tuner
,
gamer
, hingga pembalap amatir.
Mengapa Jepang Undur Diri?
Semuanya sekarang hanya menjadi cerita masa lalu. Jepang, negara yang dahulu sempat menghadapi kesulitan dengan Ferrari, saat ini telah menarik diri dari panggung tersebut.
supercar
. Untuk itu, ada beberapa alasan yang, memang, mustahil diabaikan.
Pertama, prioritas telah bergeser. Pasar berubah cepat. Pabrikan Jepang kini fokus ke pengembangan mobil yang
sustainable.
Toyota sibuk mengembangkan teknologi hidrogen. Honda berpacu di ranah mobil otonom. Nissan mengejar efisiensi dan mobilitas urban. Dalam skema besar itu, meski pabrikan-pabrikan Jepang sendiri
belum menemukan formula tepat
serta kerap dianggap kurang moderen,صندสำห
supercar
terlihat seperti artefak masa lalu—mahal, boros, dan sulit dijustifikasi secara bisnis.
Kedua, peraturan mengenai emisi dan keamanan semakin kencang. Mesin berukuran besar seperti V10 atau twin-turbo V6 diduga akan sulit memenuhi standar tersebut.
aturan baru
tanpa kehilangan rohnya. Suara meraung dan getaran kasar—sensasi primitif yang jadi ciri
supercar
lamanya — mulai dianggap sebagai “masalah” karena tak serasi dengan gambaran kendaraan modern yang halus dan tenang.
Ketiga, mungkin menjadi hal yang paling menentukan: faktor ekonomi. Lexus LFA, misalnya, menghabiskan
biaya penelitian dan pembuatan yang hampir tidak terbayangkan
. Banyak analis percaya bahwa Toyota merugi di setiap unitnya. Akan tetapi, waktu itu, mereka memang mengejar reputasi, bukan laba. Kini, reputasi tak lagi jadi prioritas karena segalanya mesti dipertanggungjawabkan dalam
spreadsheet
.
Sementara Itu, Korea dan Tiongkok Mulai Tancap Gas
Saat Jepang memilih mengundurkan diri, Korea Selatan dan Tiongkok justru melaju dengan berani. Hyundai meluncurkan N Vision 74—mobil konsep dengan desain retro-futuristik dan tenaga hidrogen. Terinspirasi dari purwarupa (prototipe) tahun 1974, mobil ini tampak seperti mimpi penggemar film Blade Runner yang jadi kenyataan. Meski masih konsep, pesan yang ingin disampaikan jelas: Korea ingin mengambil tongkat estafet dari tetangga sekaligus rivalnya.
Genesis, merek premium dari Hyundai, tidak bermain-main. Mobil seperti G90 dan GV80 membuktikan bahwa Korea sudah bukan hanya pelajar biasa tetapi sekarang menjadi pesaing serius untuk produsen mobil Eropa seperti Mercedes dan BMW.
Cina juga bertindak dengan cepat. Nio, Xpeng, BYD, dan khususnya Hongqi, bersaing untuk menghasilkan kendaraan listrik yang berkualitas tinggi.
Hongqi S9
,
hypercar
Hibrida, diciptakan untuk menghadapi Bugatti serta Koenigsegg. Berbekal dukungan dari pihak berwenang dan sumber daya yang memadai, proyek ini tidak dibebani dengan kewajiban mendapatkan laba dalam waktu singkat. Ini adalah kemegahan yang sudah lama hilang di Negeri Matahari Terbit.
Di Trekrace, Api Masih Berkobar
Walaupun produksinya telah dihentikan, semangat Jepang belum benar-benar padam. Di arena perlombaan, kendaraan asal Negeri Matahari Terbit itu tetap sangat mendominasi. Hal ini menunjukkan bahwa Jepang sebenarnya masih mampu bersaing dalam kategori mobil dengan Performa premium.
Misalnya, Toyota Gazoo Racing sukses besar dalam kompetisi Kejuaraan Dunia Endurance. Mereka meraih kemenangan berkelanjutan di 24 Jam Le Mans, menunjukkan kemampuan mereka untuk menghasilkan mesin dengan tenaga kuat serta efisien. Teknologi hybrid yang diterapkan dapat menjadi fondasi bagi mobil sport canggih di masa mendatang jika perusahaan memutuskan demikian.
Pada saat yang sama, Honda terus berpartisipasi dalam balapan IndyCar. Walaupun telah meninggalkan F1 pada tahun 2021, teknologi mereka masih dipakai oleh Red Bull Racing, sekarang menjadi tim juara dunia konstruktor. Selain itu, diperkirakan bahwa Honda akan kembali secara resmi ke ajang F1 tahun depan bekerja sama dengan tim Aston Martin.
Di sisi lain, Nissan aktif di Formula E. Tak ada raungan mesin atau bau bensin terbakar karena mereka mengejar performa dengan cara baru lewat elektrifikasi.
Lantas, mungkinkah Jepang bakal kembali ke dunia supercar?
Itu tentunya bukan sesuatu yang mustahil. Pasalnya, sejarah Jepang di kancah global sudah terbukti.
supercar
bukan sekadar perjalanan bisnis, tetapi ekspresi budaya dan semangat rekayasa. Proyek seperti Mazda RX-Vision dan Toyota GR Super Sport menunjukkan bahwa bara itu masih ada, meski tersembunyi di balik embel-embel purwarupa.
Kiprah Korea dan Tiongkok bisa jadi akan membuat Jepang kembali panas. Jelas, aksi pabrikan-pabrikan Korea dan Tiongkok adalah tantangan serius bagi kedigdayaan Jepang.
Toh, bisa dibilang, Korea dan Tiongkok belum benar-benar mapan dengan proyek supercar-nya. Oleh karena itu, bisa jadi, Jepang akan menunggu beberapa saat sebelum akhirnya “menyerang balik”.
Suatu hari kelak, NSX elektrik mungkin akan lahir, atau mungkin GT-R bertenaga hidrogen. Akan tetapi, sampai hari itu tiba, kita masih bisa mendengarkan suara mesin Honda NSX saat mendiang Senna menggebernya di Suzuka. Di kuping yang tepat, ini adalah lagu “Nina Bobo” yang menghanyutkan.
Leave a Reply